Bank Mandiri: Ekonomi Indonesia Lebih Kuat Karena Terbukti ...


TEMPO.COJakarta - - Direktur Keuangan dan Strategi Bank Mandiri Panji Irawan menyebutkan stabilitas ekonomi Indonesia masih terjaga di tengah adanya berbagai tantangan ekonomi global yang semakin besar dan penuh ketidakpastian.
“Kami masih optimis stabilitas ekonomi internal dan eksternal ke depan masih akan terjaga,” katanya saat ditemui di Jakarta, Senin 9 September 2019.
Panji mengatakan sebenarnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China telah berdampak negatif terhadap penurunan kinerja ekspor melalui penurunan harga-harga komoditas. Contohnya harga minyak Kelapa sawit (CPO) yang terus tertekan ke tingkat sekitar 500 dolar AS per ton.
“Padahal harga rata-rata 2017 itu 648 dolar AS per ton dan 2018 turun lagi jadi 556 dolar AS per ton,” ujarnya.
Hal sama juga terjadi pada harga batu bara yang terus menurun hingga 65 dolar AS per ton, sedangkan harga rata-rata pada 2017 di atas 100 dolar AS per ton, dan 2018 sebesar 88,3 dolar AS per ton.
Menurutnya, meskipun perkembangan ekonomi dunia kurang mendukung terhadap nasional, namun pertumbuhan yang terjadi di Indonesia seperti pada kuartal I tahun 2019 sebesar 5,07 persen dan kuartal II 5,05 persen masih relatif lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara  emerging markets lainnya.
Ia mencontohkan Turki pada kuartal I terkontraksi sebesar 2,4 persen dan kuartal II kembali mengalami hasil negatif yaitu 1,5 persen (YoY). Selain itu, beberapa negara berkembang lain juga mencatatkan pertumbuhan yang lebih rendah daripada Indonesia seperti Malaysia 4,9 persen, Thailand 3,7 persen, Brazil 1,01 persen, dan Rusia 0,9 persen. 
Ia menuturkan ekonomi Indonesia lebih kuat karena terbukti dengan adanya keseimbangan ekonomi internal yaitu inflasi yang masih terjaga dengan laju bulanan pada Agustus tercatat sebesar 3,49 persen, serta ekonomi eksternal yaitu kurs Rupiah pada kuartal I dan II untuk 2019 juga masih terkendali dengan nilai tukar sekitar Rp14.200 per dolar AS.
“Kami memperkirakan inflasi tahun 2019 sebesar 3,41 persen dan kurs rupiah akan berada pada rentang Rp14.200 sampai Rp14.300 per dolar,” ujarnya.
Ia melanjutkan neraca perdagangan juga mulai menunjukkan perbaikan karena angka defisit pada periode Januari-Juli 2019 berhasil diturunkan menjadi 1,9 miliar dolar AS. Hal tersebut menurun dibandingkan pada periode yang sama tahun 2018 sebesar 3,2 miliar dolar AS.
Rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan nasional tercatat masih cukup tinggi yaitu sebesar 22,6 persen pada Juni 2019 dan kualitas asset perbankan nasional juga terus membaik dengan rasio Non Performing Loan (NPL) sebesar 2,5 persen yang menurun dibandingkan Juni 2018 yaitu 2,67 persen.
Menurut Panji, tantangan perbankan nasional akan terus meningkat sehingga permintaan kredit berpeluang tertekan sehingga berbagai bank nasional akan lebih selektif dalam penyaluran kredit dengan mempertimbangkan prospek bisnis yang semakin ketat.
“Kami melihat masih cukup banyak peluang-peluang bisnis bagi perbankan nasional baik peluang bisnis kredit dan bisnis transaksi,” ujarnya.
Share:

4 Tahun Jokowi, Rapor Merah Ekonomi Berdasarkan Tolok Ukur RPJMN


TEMPO.COJakarta - Selama empat tahun masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla atau 4 tahun Jokowi-JK, beberapa target indikator ekonomi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 tidak tercapai. Mulai dari pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan, hingga tingkat pengangguran.
“Di dalam RPJMN itu hampir sebagian besar target ekonomi tidak tercapai, kecuali inflasi yang relatif lebih terkendali,” kata peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara Bhima ketika dihubungi, Rabu, 18 Oktober 2018.
Hal senada diungkapkan Ketua Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri. Menurut dia, dari beberapa indikator ekonomi, inflasi menjadi poin positif dalam pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Bahkan dalam dua bulan terakhir terjadi deflasi. Namun secara keseluruhan, Yose menilai ekonomi di era Jokowi-Jusuf Kalla cenderung stagnan.
Tempo mencoba melihat kembali beberapa target indikator ekonomi berdasarkan dokumen Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2015-2019 yang diteken Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang P.S Brodjonegoro pada Agustus 2017.
Berikut rapor 4 tahun Jokowi berdasarkan indikator di RPJMN 2015-2019 beserta tabel yang diambil dari dokumen Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2015-2019.
Pertumbuhan Ekonomi
Daftar target dan realisasi Pertumbuhan Ekonomi RPJMN 2015-2019.
Dalam dokumen Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2015-2019 yang diteken Menteri PPN atau Kepala Bappenas Bambang P.S Brodjonegoro pada Agustus 2017, tertulis target pertumbuhan ekonomi 2019 mencapai 8 persen. Dalam tabel Capaian Sasaran Pokok Pertumbuhan Ekonomi RPJMN 2015-2019, tercatat target pertumbuhan ekonomi pada 2015 dan 2016 meleset. Pada 2015, targetnya 5,8 persen, namun realisasinya hanya 4,88 persen.
Adapun pada 2016 target pertumbuhan ekonomi 6,6 persen, tapi realisasinya 5,02 persen. Pada 2017, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,07 persen dari target 5,2 persen. Namun, menurut BPS, pertumbuhan tersebut tertinggi sejak 2014. Adapun pada semester I 2018, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,17 persen.
Bhima mengatakan realisasi pertumbuhan ekonomi dalam 4 tahun terakhir hanya sekitar 5 persen. Menurut dia, target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada 2019 terlalu tinggi dengan mengesampingkan fakta bahwa ekonomi Indonesia sangat bergantung pada harga komoditas.
“Penyebab stagnasi pertumbuhan ekonomi juga karena porsi industri manufakturnya terus menurun terhadap PDB. Di kuartal II 2018 bahkan sempat di bawah 20 persen,” kata Bhima. “Di era Jokowi, kita terlalu cepat loncat ke sektor jasa, meninggalkan industri yang makin turun.“
Adapun Yose mengatakan seharusnya target pertumbuhan ekonomi ditetapkan secara realistis. Ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 2000-an berkisar antara 5 persen, target 8 persen dianggap kurang realistis.
Sedangkan Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika mengatakan pertumbuhan ekonomi membaik diikuti mutu yang mengesankan. “Karena sejak 2004 untuk pertama kalinya pertumbuhan ekonomi yang meningkat diiringi dengan penurunan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sekaligus,” kata dia.
Nilai Tukar Rupiah
Daftar perkiraan dan realisasi Nilai Tukar Rupiah per USD dalam RPJMN 2015-2019.
Dalam RPJMN 2015-2019, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dipatok Rp 12 ribu pada 2019. Namun hingga pertengahan Oktober 2018, nilai tukar rupiah sudah menembus Rp 15 ribu. Pada 2015, perkiraan kurs rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 12.200. Namun realisasinya mencapai Rp 13.390. Adapun pada 2016 perkiraan nilai tukar Rp 12.150, sedangkan realisasinya mencapai Rp 13.307.
Bhima memprediksi nilai tukar rupiah tahun depan bakal terus melemah. “Ada peran faktor eksternal seperti perang dagang, kenaikan suku bunga The Fed, dan instabilitas geopolitik,” katanya.
Inflasi
Daftar target dan reallisasi Inflasi dalam RPJMN 2015-2019
Dalam RPJMN 2015-2019, inflasi dipatok sebesar tak lebih dari 3,5 persen pada 2019. Untuk kategori inflasi, rapor pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla hijau atau tercapai. Pada 2015, realisasi inflasi ditekan sekitar 3,35 persen dari patokan 5 persen. Pun pada 2016 realisasinya 3,02 persen dari target 4 persen.
Bahkan dalam dua bulan berturut-turut dari Agustus sampai September 2018, terjadi deflasi. Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat pada Agustus deflasi 0,05 persen dan pada September sebesar 0,18 persen.
Bhima mengapresiasi indikator inflasi dalam 4 tahun pemerintahan Jokowi-JK, meskipun disumbang turunnya harga minyak dalam 3 tahun terakhir. Menurut dia, adanya satgas pangan, pembangunan infrastruktur berkorelasi dengan terjaganya harga kebutuhan pokok khususnya harga pangan yang mengalami deflasi dalam 2 bulan terakhir. “Target RPJMN inflasi ada di 3,5 persen cukup realistis,” katanya.
Kemiskinan
Daftar target dan realisasi Tingkat Kemiskinan dalam RPJMN 2015-2019.
Pada akhir periode RPJMN 2015-2019, tingkat kemiskinan ditargetkan pada kisaran 7-8 persen pada 2019. Jumlah penduduk miskin pada September 2016 tercatat sekitar 27,76 juta jiwa atau 10,70 persen dari total penduduk, berkurang 0,43 persen dari 2015. Namun jumlah tersebut masih meleset dari target 10,6 persen tingkat kemiskinan.
Menurut Bhima, tingkat kemiskinan dengan target 7-8 persen pada 2019 agak mustahil tercapai meskipun tingkat kemiskinan di data terakhir BPS bisa ditekan hingga 9,8 persen. “Upaya pemerintah meningkatkan jumlah penerima PKH, reforma agraria, dana desa, dan pembangunan infrastruktur penting tapi hasilnya masih membutuhkan waktu,” kata dia.
Tingkat Pengangguran
Daftar target dan realisasi Tingkat Pengangguran Terbuka RPJMN 2015-2019.
Dalam RPJMN 2015-2019, pemerintah menargetkan penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT)  hingga mencapai 4-5 persen pada 2019, serta penciptaan kesempatan kerja sebesar 10 juta selama 5  tahun. Pada Agustus 2016 terjadi penurunan tingkat pengangguran terbuka dari 6,18 persen pada  2015  menjadi 5,61 persen.
Bhima mengatakan target tingkat pengangguran terbuka pada 2019 bisa tercapai jika pemerintah konsisten mendorong sektor industri, pertanian, dan ekonomi digital. Pengangguran terbuka per Februari 2018 mencapai 5,13 persen. “Masih bisa dikejar untuk turun ke 5 persen,” kata dia.
Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga Uno, Sudirman Said mengklaim memiliki studi yang menyatakan 15 indikator pencapaian ekonomi dalam RPJMN 2015-2019 hanya satu yg tercapai, yaitu nilai inflasi. "Yang lainnya, nilai kurs tidak tercapai, pertumbuhan ekonomi tidak tercapai, gini rasio, APBN, dan itu kami simpati, karena ada tekanan global," kata Sudirman Said saat ditemui di Gedung Pakarti Centre, Jakarta, Kamis, 18 Oktober 2018.
Ketika ditanya soal sebagian target indikator ekonomi di RPJMS yang meleset, Ahmad Erani mengatakan dalam setahun terakhir ini pemerintahan Jokowi akan fokus menyelesaikan mandat di dalam Nawacita dan RPJMN 2015-2019.
“Banyak capaian lain yang melebihi target. Sekadar contoh. BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) targetnya 5.000, sekarang sudah 40 ribu. Desa tertinggal yang dientaskan 5.000, sekarang saja sudah lebih dari 15 ribu,” ujarnya.
Adapun peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Maxensius Tri Sambodo mengatakan pemerintah Jokowi cukup berhasil mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi. Pemerintah Jokowi dianggap memberikan harapan baru berkat kondisi makroekonomi yang stabil, pembangunan infrastruktur yang masih, serta kebijakan-kebijakan sosial yang populer seperti kartu sehat, kartu pintar, dan dana desa.
“Rentang pertumbuhan ekonomi dalam kisaran 5-6 persen akan lebih realistis di masa depan,” kata dia mengevaluasi 4 tahun Jokowi.
Share:

BI Ingatkan Tantangan Ekonomi Indonesia 2019 dari Cina dan AS


TEMPO.COJakarta - Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menuturkan kondisi ekonomi global pada tahun ini masih dinilai kurang ramah bagi Indonesia. Jika tahun lalu ancaman datang dari sisi pasar keuangan (financial channel), Perry melihat ancaman kali ini berasal dari sisi perdagangan (trade channel).
"Risiko global bergerak dari financial channel sekarang trade channel. Makanya kita harus antisipasi dan kita hadapi bersama," ujar Perry, Senin, 4 Maret 2019.
Menurut Perry, dua negara yang ekonominya akan mengalami ancaman dan turut mempengaruhi Indonesia adalah AS dan China. Pertumbuhan ekonomi AS pada tahun ini diperkirakan hanya akan mencapai 2,3 persen atau turun dibandingkan tahun sebelumnya 2,9 persen. Sementara itu, ekonomi AS diperkirakan hanya akan tumbuh 2 persen pada tahun depan.
Salah satu penyebabnya adalah pemerintahan Presiden Trump yang tidak bisa lagi melakukan injeksi stimulus fiskal sehingga menyebabkan timbulnya government shutdown atau berhentinya kegiatan administrasi negara. Faktor lain adalah perang dagang antara AS dan China.
Pelemahan ini akan mempengaruhi pasar ekspor Indonesia ke AS yang didominasi oleh produk manufaktur seperti garmen dan mesin-mesin. "Maka ada implikasinya karena memang AS masih pasar terbesar oleh karena itu kita harus lebih giat menembus pasar AS dan juga mencari pasar-pasar lain," ujar Perry.
Demikian pula dengan China, Perry menuturkan perekonomian Negeri Tirai Bambu ini akan mengalami perlambatan pada tahun ini menjadi 6,3 persen dari sebelumnya 6,6 persen tahun lalu. Dulu Cina sangat kuat, namun perekonomiannya mengalami levaraging sehingga pemerintahnya harus melakukan restrukturisasi di BUMN dan sektor keuangan atau delevaraging.
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonominya menurun. Cina mencoba mendorong stimulus moneter untuk mendorong permintaan domestiknya, tetapi kurang kuat. Di tengah kondisi ini, Cina dihantam perang dagang dengan AS. Akibatnya perekonomian Cina dipastikan akan mengalami perlambatan.
Posisi Cina tersebut, kata Perry, akan mempengaruhi ekspor komoditas Indonesia, terutama komoditas. Padahal, Cina merupakan pasar ekspor komoditas terbesar dari Tanah Air.
Melihat kondisi ini, Perry berharap semua pihak tidak menyerah dan tetap melihat peluang dari kondisi Cina tersebut. "Apa peluangnya yang bisa dilihat dari menurunnya ekonomi Cina adalah terjadinya relokasi industri dari Cina ke berbagai daerah," kata Perry.
Perang dagang sebenarnya pernah terjadi antara Jepang dan AS pada tahun 1980-an sehingga Jepang akhirnya melakukan restrukturisasi dalam bidang industri dan keuangannya. Oleh karena itu, Jepang merelokasi industrinya ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. "Itu terjadi sehingga dalam istilah akademis ada teori angsa terbang," kata Perry.
Tidak hanya Jepang, Korea Selatan ketika mengalami krisis Asia pada 1997-1998 melakukan relokasi industri ke Asia Tenggara. Perry menegaskan kondisi ekonomi global dengan pelemahan di dua negara tujuan utama ekspor tersebut jangan dijadikan alasan untuk mengeluh tidak bisa melakukan ekspor.
"Justru bagaimana Indonesia bisa mendatangkan investasi dari barang yang tadinya kita impor, misalnya negara yang tadinya kita ekspor batu bara atau nikel agar mau membangun smelter dan lain-lain untuk value added," ujar Perry.
Upaya ini tengah dijalankan pemerintah bersama-sama dengan semua pihak. Terbukti, dia menuturkan beberapa seperti smelter nikel dan investasi baterai litium mulai masuk ke Morowali.
Perry menuturkan pihaknya mendengar perusahaan Cina juga akan masuk ke konstruksi serta keuangan digital. Dia menegaskan kondisi ini harus dimanfaatkan di tengah penurunan ekonomi global, khususnya China. "Mari kita tangkap untuk berbagai bidang," ujar Perry.
Selain upaya menangkap peluang di atas, Perry berharap upaya mencari pasar baru ke arah Asia Selatan tetap didorong, terutama di bidang konstruksi dan permesinan. Contohnya adalah ekspor gerbong kereta ke Bangladesh dan India atau investasi di bidang konstruksi di wilayah Afrika.
Ketika ekonomi dunia melambat didorong oleh pelemahan pertumbuhan ekonomi Cina dan AS, setidaknya Indonesia memiliki pasar-pasar baru.
Share:

BPS: Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II 2019 Melambat Menjadi 5,05 Persen


TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2019 sebesar 5,05 persen secara year on year. Sedangkan pertumbuhan ekonomi triwulan II terhadap triwulan I 2019 terhitung sebesar 4,2 persen.
Dengan demikian, secara kumulatif pertumbuhan ekonomi adalah 5,06 persen,” ujar Kepala BPS Suhariyanto dalam pemaparan di kantornya, Jakarta Pusat, Senin, 5 Agustus 2019. 
Suhariyanto mengatakan laju pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2019 lebih lambat ketimbang triwulan yang sama 2018 sebesar 5,27 persen dan triwulan I 2019 yang mencapai 5,07 persen. Pertumbuhan triwulan II 2019 juga melambat ketimbang triwulan III 2018 yang mencapai 5,06 persen.
Adapun secara spasial, pertumbuhan ekonomi triwulan II 2019
didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto sebesar 59,11 persen. Sedangkan pertumbuhan di wilayah Maluku dan Papua masih mengalami kontraksi sebesar -13,2 pesen. 
Bila dihitung secara Q to Q, Suhariyanto mengatakan pertumbuhan paling tinggi terjadi untuk sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Pertumbuhan di sektor tersebut mencapai 13,80 persen. Sedangkan jasa pendidikan hanya tumbuh 3,09 persen dan jasa lainnya tumbuh sebesar 4 persen.
Suhariyanto mengatakan perekonomian Indonesia pada triwulan II melambat karena terpengaruh kondisi ekonomi global pada periode yang sama yang juga menunjukkan perlambatan. Berdasarkan data yang dihimpun BPS, ekonomi mitra dagang Indonesia, seperti Cina, Amerika Serikat, Singapura, dan Korea Selatan mengalami pertumbuhan lebih lambat ketimbang periode yang sama pad tahun sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi Cina pada triwulan II 2019, ujar dia, hanya tumbuh 6,2 persen. Angka itu melambat ketimbang triwulan II tahun sebelumnya yang mencapai 6,7 persen.
Sedangkan pertumbuhan Amerika Serikat melambat menjadi 2,3 persen dari semula 3,2 persen; Singapura melambat menjadi 0,1 persen dari semula 4,2 persen; dan Korea Selatan melambat menjadi 2,1 persen ketimbang triwulan 2 sebesar 2,9 persen. 
Adapun realisasi belanja pemerintah dalam APBN Triwulan II 2019 mencapai Rp 582,45 triliun atau 23,57 persen dari total pagu APBN 2019. Realisasi belanja pemerintah triwulan ini naik ketimbang triwulan yang sama pada tahun sebelumnya yang hanya 23,64 persen. 
Share:

Utang Korporasi Bengkak, McKinsey Ingatkan Potensi Krisis Ekonomi


TEMPO.COJakarta - Konsultan manajemen multinasional McKinsey and Company mengingatkan negara-negara Asia dan termasuk Indonesia untuk mewaspadai terulangnya krisis moneter 1997-1998. Sebab, utang perusahaan-perusahaan di Asia (termasuk Indonesia) telah membengkak sehingga menanggung utang jangka panjang lebih dari 25 persen. 
Dalam laporan McKinsey and Company, disebutkan bahwa korporasi di Australia, Cina, Hong Kong, India, dan termasuk Indonesia menanggung utang jangka panjang lebih dari 25 persen dengan interest coverage ratio (ICR) kurang dari 1,5. Khusus untuk Indonesia, utang jangka panjang dengan ICR kurang dari 1,5 mencapai 32 persen.
Selain itu, tingkat utang Indonesia yang menggunakan mata uang asing berada di angka 50 persen, jauh di atas rata-rata di negara-negara yang proporsinya hanya sebesar 25 persen. Tingginya utang dengan denominasi asing tersebut menyebabkan Indonesia rentan terhadap fluktuasi nilai tukar mata uang.
Kondisi ini tergolong rawan karena artinya korporasi harus menggunakan mayoritas labanya dalam rangka membayar utang. Apabila ditilik per sektor, McKinsey menemukan bahwa 62 persen perusahaan dengan ICR di bawah 1,5 adalah dari perusahaan yang bergerak di sektor utilitas.
McKinsey menilai hal tersebut sebagai hal yang mengkhawatirkan karena kemampuan perusahaan dari sektor tersebut untuk membayar utang memerlukan koordinasi dengan berbagai stakeholder sehingga membuat pengembalian utang semakin kompleks.
Lebih lanjut, 40 persen capital inflow menuju negara-negara Asia merupakan utang berbentu valas.
Terkait permasalahan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pihaknya akan terus berkoordinasi bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk memantau sektor perbankan, non-perbankan, hingga korporasi.
"Kalau ada laporan (soal utang), kita akan lihat apakah berbeda dari sisi pembacaan dengan kita. McKinsey membuat laporan untuk keseluruhan Asia dan negara berkembang, jadi kita bisa bandingkan itu," ujar Sri Mulyani pada Jumat 23 Agustus 2019 lalu.
Share:

Faisal Basri: Jangan Anggap Enteng Kondisi Ekonomi Indonesia


TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri mengkritik pihak-pihak yang hanya menyajikan data-data yang baik mengenai kondisi ekonomi nasional. Seolah-olah kondisi ekonomi baik-baik saja, padahal nyatanya saat ini sebaliknya.
"Menurut saya ini keterlaluan ya, karena menganggap enteng. Gubernur Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan harusnya tahu bahwa sampai sekarang jantung kita masih bermasalah," kata Faisal saat menjadi pembicara dalam acara CNBC Economy Outlook 2019 di Hotel Westin, Jakarta Selatan, Kamis 28 Februari 2019.
Adapun sebelumnya, dalam acara CNBC Economy Outlook 2019 pemerintah lewat Komite Stabilitas Sistem Keuangan hadir dalam diskusi tersebut. Dalam acara tersebut hadir Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso dan Komisioner LPS Destry Damayanti.
Dalam acara itu, masing-masing pembicara dari KSSK memaparkan mengenai kondisi ekonomi nasional dari berbagai sisi. Dalam kesempatan itu, disampaikan pula berbagai prediksi ekonomi di tahun politik dan stand kebijakan pemerintah.
Dalam pemaparannya, Faisal mengkritik pertumbuhan ekonomi yang cenderung stagnan di angka 5 persen selama hampir lima tahun ini. Ia juga mengkritik masih rendahnya tingkat credit to GDP ratio atau rasio kredit terhadap PDB.
Faisal mencatat saat ini rasio kredit terhadap PDB atau pinjaman bank terhadap PDb terus menurun hingga ke level 40 persen. Bahkan pada 2018 rasio kredit terhadap PDB tinggal 35,2 persen. Angka tersebut masih jauh dibandingkangan Cina yang mencapai 215 persen, Afrika Selatan dan Vietnam yang telah berada di atas 100 persen.
Menurut Faisal, kondisi inilah yang ia sebut mengkhawatirkan. Karena itu, Faisal meminta pemerintah khusunya BI dan OJK untuk melihat lebih jernih dengan cara keluar dari posisinya.
"Bagaimana konsolidasi bank bank yang sekarang masih 115 buah ini? Itu kan yang bapak ibu butuhkan. Jadi jantung kita bermasalah gitu, jadi tolong jangan anggap enteng," kata Faisal Basri.
Share:

Risiko Krisis Ekonomi Global


Tri Winarno
Ekonom Senior Bank Indonesia
Dunia sedang menghadapi peningkatan risiko perlambatan ekonomi. Kalau tidak dapat dikelola dengan tepat, hal ini akan memicu resesi global pada 2020.
Risiko tersebut kebanyakan melibatkan Amerika Serikat. Perang dagang Amerika dengan Cina dan negara lainnya, serta pembatasan migrasi, investasi asing langsung, dan transfer teknologi, akan berdampak negatif terhadap rantai pasokan produksi. Hal ini akan meningkatkan ancaman stagflasi, yaitu perlambatan pertumbuhan yang dibarengi dengan kenaikan inflasi. Risiko perlambatan ekonomi Amerika terlihat semakin nyata setelah stimulus legislasi pajak tahun 2017 telah kehabisan daya dorongnya.
Sementara itu, pasar modal Amerika masih tetap terlihat "berbusa". Ada risiko tambahan yang terkait dengan peningkatan utang baru yang melibatkan negara-negara emerging market, yang portofolio pinjamannya dinominasikan dalam mata uang asing. Dengan kemampuan bank sentral sebagai lender of the last resort yang semakin terbatas, pasar uang yang tidak likuid akan rentan terhadap guncangan dan gangguan lain.
Yang dapat dikategorikan gangguan lain tersebut adalah langkah Presiden AS Donald Trump yang tergoda untuk menciptakan krisis lewat kebijakan luar negeri terhadap negara seperti Iran. Dengan langkah itu, Trump berharap dapat meningkatkan elektabilitasnya di dalam negeri untuk menghadapi pemilihan presiden 2020 tapi berisiko memicu guncangan harga minyak.
Di luar Amerika, ada risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina, yang dibebani tumpukan utang, dan beberapa negara emerging market lainnya. Risiko ekonomi dan politik Uni Eropa juga memperkuat kecemasan risiko global. Situasi lebih buruk terjadi di negara maju karena terbatasnya kebijakan yang tersedia jika krisis ekonomi terjadi. Kebijakan moneter dan fiskal serta dana talangan (bailout) terhadap sektor swasta yang diimplementasikan pada saat krisis keuangan 2008 akan sangat terbatas efeknya jika krisis terjadi lagi.
Dari semua risiko di atas, yang paling mencemaskan adalah kebijakan The Fed, bank sentral Amerika. Ini setelah The Fed menaikkan tingkat bunga dalam merespons kebijakan fiskal prosiklikal Trump. Kebijakan fiskal prosiklikal mengikuti pola siklus bisnis: apabila perekonomian sedang berada dalam resesi, pengeluaran pemerintah juga ikut rendah, dan sebaliknya bila terjadi ledakan ekonomi. The Fed akhirnya mengubah arahnya sejak Januari 2019. Ke depan, diperkirakan The Fed ataupun bank sentral utama lainnya akan memangkas tingkat bunga untuk merespons kejutan yang menerpa ekonomi global.
Ketika perang dagang dan potensi kenaikan harga minyak merupakan risiko sisi penawaran, mereka juga mengancam permintaan agregat sehingga menekan pertumbuhan konsumsi karena tarif dan peningkatan harga minyak akan mengurangi pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income). Dengan semakin tingginya ketidakpastian ke depan, pengusaha akan cenderung mengurangi belanja modal dan investasinya.
Di sisi fiskal, negara-negara maju telah menghadapi defisit fiskal dan utang publik yang jauh lebih tinggi dari sebelum krisis keuangan global, sehingga hanya ada ruang sempit untuk melakukan stimulus fiskal. Di samping itu, dana talangan terhadap sektor keuangan akan menghadapi tantangan di parlemen mengingat merebaknya sentimen populis dan keuangan pemerintah yang hampir "insolvent" (tidak memiliki cukup dana untuk melunasi utang).
Di antara risiko-risiko di atas, perang dagang Amerika dengan Cina merupakan risiko terbesar terjadinya resesi, karena konflik tersebut dapat meningkat dengan berbagai cara. Pemerintahan Trump dapat memperluas kenaikan tarif untuk ekspor Cina sebesar US$ 300 miliar, yang sekarang belum diimplementasikan. Amerika dapat melarang Huawei dan perusahaan Cina lainnya memakai komponen Amerika, yang berakibat pada proses deglobalisasi dalam skala penuh, ketika perusahaan-perusahaan tersebut kesulitan mengamankan rantai produksinya. Kalau skenario tersebut terjadi, Cina memiliki beberapa opsi untuk melakukan tindakan balasan, seperti menutup pasarnya bagi perusahaan Amerika, misalnya melarang Apple dijual di Negeri Panda.
Baik Trump maupun Presiden Cina Xi Jinping sadar betul bahwa mereka berkepentingan agar terhindar dari krisis global. Namun tampaknya mereka masih saling melempar retorika nasionalisnya dan membalas tindakan satu sama lain.
Maka, ada harapan besar agar Trump dan Xi melakukan pembicaraan kembali dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi G-20 pada 28-29 Juni 2019 di Osaka, Jepang. Tapi, kalaupun mereka setuju untuk memulai negosiasi, kesepakatan di keduanya masih butuh waktu yang panjang.
Share:

RSS Feed Narotama

Recent Posts