BI Ingatkan Tantangan Ekonomi Indonesia 2019 dari Cina dan AS


TEMPO.COJakarta - Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menuturkan kondisi ekonomi global pada tahun ini masih dinilai kurang ramah bagi Indonesia. Jika tahun lalu ancaman datang dari sisi pasar keuangan (financial channel), Perry melihat ancaman kali ini berasal dari sisi perdagangan (trade channel).
"Risiko global bergerak dari financial channel sekarang trade channel. Makanya kita harus antisipasi dan kita hadapi bersama," ujar Perry, Senin, 4 Maret 2019.
Menurut Perry, dua negara yang ekonominya akan mengalami ancaman dan turut mempengaruhi Indonesia adalah AS dan China. Pertumbuhan ekonomi AS pada tahun ini diperkirakan hanya akan mencapai 2,3 persen atau turun dibandingkan tahun sebelumnya 2,9 persen. Sementara itu, ekonomi AS diperkirakan hanya akan tumbuh 2 persen pada tahun depan.
Salah satu penyebabnya adalah pemerintahan Presiden Trump yang tidak bisa lagi melakukan injeksi stimulus fiskal sehingga menyebabkan timbulnya government shutdown atau berhentinya kegiatan administrasi negara. Faktor lain adalah perang dagang antara AS dan China.
Pelemahan ini akan mempengaruhi pasar ekspor Indonesia ke AS yang didominasi oleh produk manufaktur seperti garmen dan mesin-mesin. "Maka ada implikasinya karena memang AS masih pasar terbesar oleh karena itu kita harus lebih giat menembus pasar AS dan juga mencari pasar-pasar lain," ujar Perry.
Demikian pula dengan China, Perry menuturkan perekonomian Negeri Tirai Bambu ini akan mengalami perlambatan pada tahun ini menjadi 6,3 persen dari sebelumnya 6,6 persen tahun lalu. Dulu Cina sangat kuat, namun perekonomiannya mengalami levaraging sehingga pemerintahnya harus melakukan restrukturisasi di BUMN dan sektor keuangan atau delevaraging.
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonominya menurun. Cina mencoba mendorong stimulus moneter untuk mendorong permintaan domestiknya, tetapi kurang kuat. Di tengah kondisi ini, Cina dihantam perang dagang dengan AS. Akibatnya perekonomian Cina dipastikan akan mengalami perlambatan.
Posisi Cina tersebut, kata Perry, akan mempengaruhi ekspor komoditas Indonesia, terutama komoditas. Padahal, Cina merupakan pasar ekspor komoditas terbesar dari Tanah Air.
Melihat kondisi ini, Perry berharap semua pihak tidak menyerah dan tetap melihat peluang dari kondisi Cina tersebut. "Apa peluangnya yang bisa dilihat dari menurunnya ekonomi Cina adalah terjadinya relokasi industri dari Cina ke berbagai daerah," kata Perry.
Perang dagang sebenarnya pernah terjadi antara Jepang dan AS pada tahun 1980-an sehingga Jepang akhirnya melakukan restrukturisasi dalam bidang industri dan keuangannya. Oleh karena itu, Jepang merelokasi industrinya ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. "Itu terjadi sehingga dalam istilah akademis ada teori angsa terbang," kata Perry.
Tidak hanya Jepang, Korea Selatan ketika mengalami krisis Asia pada 1997-1998 melakukan relokasi industri ke Asia Tenggara. Perry menegaskan kondisi ekonomi global dengan pelemahan di dua negara tujuan utama ekspor tersebut jangan dijadikan alasan untuk mengeluh tidak bisa melakukan ekspor.
"Justru bagaimana Indonesia bisa mendatangkan investasi dari barang yang tadinya kita impor, misalnya negara yang tadinya kita ekspor batu bara atau nikel agar mau membangun smelter dan lain-lain untuk value added," ujar Perry.
Upaya ini tengah dijalankan pemerintah bersama-sama dengan semua pihak. Terbukti, dia menuturkan beberapa seperti smelter nikel dan investasi baterai litium mulai masuk ke Morowali.
Perry menuturkan pihaknya mendengar perusahaan Cina juga akan masuk ke konstruksi serta keuangan digital. Dia menegaskan kondisi ini harus dimanfaatkan di tengah penurunan ekonomi global, khususnya China. "Mari kita tangkap untuk berbagai bidang," ujar Perry.
Selain upaya menangkap peluang di atas, Perry berharap upaya mencari pasar baru ke arah Asia Selatan tetap didorong, terutama di bidang konstruksi dan permesinan. Contohnya adalah ekspor gerbong kereta ke Bangladesh dan India atau investasi di bidang konstruksi di wilayah Afrika.
Ketika ekonomi dunia melambat didorong oleh pelemahan pertumbuhan ekonomi Cina dan AS, setidaknya Indonesia memiliki pasar-pasar baru.
Share:

RSS Feed Narotama

Recent Posts